Minggu, 10 April 2016

Gagal? So What .. Lanjut terus!



Gagal? So What .. Lanjut terus!

Pagi itu, rasanya tak ingin lagi aku menatap dunia. Sejak, berita kelulusan sampai diumumkannya cerita tentang SNMPTN. Semua menjadi kabur, dan tak ada lagi benak untuk melanjutkan.
            Pasalnya, kau tahu, semua impian itu terlibas habis oleh sebuah pengumuman. Rasanya bukan aku yang mengalaminya sendiri, namun ribuan hati tertolak oleh sebuah keputusan. Tapi, leleh hati ini seketika ketika pernyataan itu terpampang jelas di depan LCD datar warnet depan rumah, tulisan itu tertulis, “Anda dinyatakan tidak lolos dalam SNMPTN 2O14.”
            Bukan main gaduhnya hati ini. Teman seperjuangan jua tak jemu berbagi gelisah bersama. Ika datang bersama Ama. Keduanya tak habis-habisnya membicarakan hasil jerih payah ini. Menyayangkan kenapa dia lolos, dan kenapa kita, anak-anak berusaha ini, tidak lolos.
            Satu kesimpulan, “Mungkin mereka memang belajar sangat keras.” positif Ika yang memang gemulai dalam menyikapi keadaan. Sama gemulainya dengan dirinya, dengan penampilannya yang tidak kurus namun berisi, bagiku dia tidak gendut dan tidak pula harus berdiet ketat untuk mengindahkan tubuhnya. Lihat saja, dengan gemulainya Ika, sudah banyak lelaki mengantri untuk mendapatkan dirinya.
            Namun, dia tetap saja, mendengarkan semua yang menyudutkan, dan berusaha mati-matian menghilangkan ke-gemulai-an dirinya.
            “Eh, coba .. di SMANRA (singkatan SMA Nusantara) siapa aja yang lolos SNMPTN?” mulai Ama mengalihkan pembicaraan kami yang kasak-kusuk tak enak hati, mencurahkan semua kecewa atas pengumuman ini.      Ama, sahabat lama sedari SD yang tak jemu mengatasi kesabaran Ika yang curhat soal rasanya. Dia sabar sekali, dara tirus dengan alis tak terlihat dan seperti tak ada sama sekali. Wah, jangan-jangan, dia bisa melihat alam ghaib, haha.    Dia justru tak ada habisnya menerka-nerka, kenapa sosok-sosok ini bisa lolos SNMPTN. Ika juga turut calling informasi di ingatannya, memanggil nama-nama tersebut, “Iya .. Nada si .. kita ga heran, dia pasti lah, dari kelas sepuluh sampai lulus saja dia tetap jadi yang terbaik, untuk lolos SNMPTN, pasti lah, mudah bagi dirinya.” ingatnya.
            “Aku si, biasa aja, sama semuanya. Mereka itu, orang-orang yang ga pernah buat hati gurunya sakit.” kataku, membuat pertanyaan besar bagi mereka, jadi selama ini kami menyakiti para guru?
            “Lihat saja, si Fian yang memang pintar, dia kedua kan setelah Nada. Sama sekali tidak tersangkut di pengumuman itu. Kalian, tahu sendiri kan, Fian seperti apa?” Ika tambah mengingatkan.         “Iya, kasihan .. Bu Ning, pertama ngajar langsung dibikin mewek sama Fian. Terus ada lagi, Alam, inget Alam ga? Dia kan yang bikin pak Slamet nyaris dikeluarkan dari SMANRA gara-gara uang SPP Alam yang harusnya dibayar ke teller bank ditaruh di tas pak Slamet, keterlaluan dia.” tambah Ama Lagi.
            “Dan kesalahan kita?” tanyaku membuat hening suasana. Mengoreksi semua yang telah terjadi, kita melakukan apa, kita mengerjai guru, sepertinya tidak, kemudian apa yang kita lakukan..
            “Kalian ingat, teman kita yang selama sebulan tidak masuk sekolah?” coba ingat-ingat kembali. Dia, terlintas dalam benak kejadian demi kejadian. Kami memang tak sengaja membuatnya tidak kerasan ada di SMANRA. Tapi, apakah itu salah satu penyebab tersendatnya kami.
            “Luvi?” ingatku. Anak itu lumayan nakal, dia tidak bisa membuat kami senang. Hanya marah jika dekat-dekat dia. Ama memang bisa sabar menghadapinya. Tapi aku dan Ika tak memberi batas sabar atas kenakalannya itu.       “Iya, aku ingat. Dulu kita sama-sama membuatnya jera atas kenakalannya. Kita yang memberikan sebuah petasan di dekat rumahnya untuk tidak berangkat ke SMANRA, seminggu dia tidak berangkat. Dan setelah seminggu itu, kita seperti tidak enak hati dan membujuk Luvi untuk masuk lagi. Dia memaafkan, mau masuk, tapi hanya tiga hari, dan lenyap sebulan lamanya tak terlihat batang hidungnya.”   Dan “Kita harus kesana lagi!” mantap Ama menatap mata kami. Sebenarnya ada malu, Luvi kini tak sekolah karena mereka. Dan mungkin dia mengatakan sumpah serapah dalam doanya untuk menghujat kami. Haduh, Tuhan, dimana kebaikan kami. Kami malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar