Luvi,
I’m so sorry ..
Bertahta dalam hati mendulang semua mimpi, aku tak
berharap banyak akan ada pertemuan. Dan aku tak berniat sekalipun untuk menyapa
sosok yang ada di ujung jalan.
Perjalanan
kami menuju rumah Luvi terhenti, oleh dara jantan yang berparas bluster kearab-jawaan. Arabnya tergurat
jelas di alis dan hidungnya. Dan jawanya terdominasi dari melanin coklat yang
membalut kulitnya. Dia tak melihatku. Ika dan Ama juga tak melihatnya. Namun,
seperti mendapat radar tak disengaja, dia menyapu mata teduhnya dan menatap
mataku.
Aku
hanya melihatnya dan sedetikpun tak ada lekuk bibir yang terlukis di wajah, aku
mematung dan segera pergi dari titiknya. Tak memberitahukan siapa pun, atas
bertemunya bola mata itu.
Rumah
Luvi tak jauh dari rumahnya, mereka satu perumahan dengan blok yang berbeda.
Luvi di blok V, dan dia di blok L. Dari L ke V berjarak sepuluh rumah, dan Ika
dan Ama tak tahu akan hal itu. Keduanya belum tahu apapun tentang hal ini.
***
“Masuk
.. masuk! Ini temennya Luvi ya .. siapa namanya?” silakan ibunya Luvi tak kalah
ramah dengan ibu-ibu SMANRA lainnya. Tak salah, kami memilih sekolah, sekolah
elit yang rata-rata orang mampu lah yang mendaftarkan anak mereka di sekolah
tersebut. Kebetulan yang mampu itu, juga saling membagi kemampuannya. Namun,
sama saja, biar elit, tetap saja, seperti tak mengerti hati menjaga kehadiran
guru. Semena karena harta.
“Ilsya,
Ika, sama Ama bu .. sudah lama ya, Luvi tidak masuk sekolah.” basaku, disambut
Ika dan Ama yang basa-basi memperkenalkan diri. Kemudian datanglah Luvi, dengan
gayanya yang sudah berubah seperti remaja yang tak mau kalah dengan zamannya.
“Iya,
lama sekali ya .. sampai kalian sudah lulus ya?” ramahnya seperti ada janggal
di kata ya nya.
“Tapi, Luvi
jadi cantik banget lho, bu .. ga nyangka, kita di SMAIT aja masih buluk gini.
Tidak boleh di paras cantik, krudung saja monoton besar dan gedombrang-gedombrang
ya .. haha.” celotek Ama mencairkan suasana. Ya, memang busana seperti itu,
yang tampil dari jam tujuh sampai kepulangan pukul tengah tiga. Baju, kerudung,
dan rok yang gedombrang- gedombrang.
“Lho, di
luar kalian beda dong, masa masih ikut budaya SMANRA, nanti tak laku-laku
kalian.” tambah celotek Luvi. Busananya memendek, dengan ornamen pernak-pernik
cerah di dadanya, berpasmina simple dan memaras wajah sama seperti remaja pada
umumnya. Dia mendekat kemudian menyuguhkan minumnya kepada kami.
“Vi ..
masih ingat kan, kenapa kamu ga mau ke SMANRA lagi?” tanyaku, serambi
meletakkan gelas yang dituangkan air ke depan Ika dan Ama. Luvi melihatku
sekilas, kemudian Ika dan Ama. Kemudian tak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya.
Aku
bingung, bukan bersilaturahmi untuk mencairkan suasana, malah menjadikan suram
begini. “Haha, akh, aku juga sudah lupa. Kenapa kalian masih ingat-ingat lagi.
Tapi sampai kapan pun aku belum memaafkannya lho!”
“Sampai
kapan pun?” spontanku. Dia menatap aku lagi. Dan ketika kedua bola mata itu,
menusuk mataku, membuat aku sadar akan sakit hatinya.
“Luvi,
kita ke sini bukan untuk memperpanjang kebekuan. Tapi kita ke sini mau minta
maaf ke kamu.” jelas Ama mencoba mencairkan suasana. Luvi justru meruncingkan
matanya ke sumber suara itu. Dia tak mengalihkan satu detik pun untuk
mengintimidasi kami.
“Kalian
tidak tahu, mental itu rapuh ketika kalian menyudutkan aku di depan semua
anak-anak di kelas. Mereka tidak ada yang mau berteman denganku, seminggu itu
aku beranikan diri untuk masuk, dan seminggu itu, hancur mentalku. Dan semua
itu, kalian tahu, gara-gara siapa?” runcingnya, disambut gelengan kami,
“Gara-gara kalian!”
“Ya,
karena itu, kami minta maaf!” terang Ika. Dia tak habis pikir, sebenarnya hanya
mainan sesaat yang membuatnya menggurau yang tidak-tidak tentang Luvi,
menyebabkan mental Luvi lemah dan tak mau kembali lagi. Dia tak habis pikir,
kenapa serapuh itu, tak mau kembali pada medan positif yang dapat memberikan
dia kesuksesan yang nyata.
***
Kejadiannya
seperti ini.
Geram
melihat sendal-sendal kami disembunyikan Luvi, entah dimana. Kemudian tak
tahan, melihat ulah Luvi yang menyelipkan sepatu pantopel lepek kami di atas
sela-sela tralis dinding di atas kelas sebelas Girl’s Socilious.
Ika
membuat satu kesepakatan dengan Luvi, “Kapan kau berubah, vi?” tegasnya.
“Aku
berubah? Kau tak pernah mengerti, betapa sakit hatinya aku, ketika aku
diperlakukan pilih kasih oleh bapak dan ibu guru di sekolah ini. Kau, Ika. Kau,
Ama. Dan kau, Ilsya .. yang selalu mendapat nilai bagus di rapor dan membuat
senyum bangga pada orangtua kalian. Sedang, aku .. selalu dan selalu mendapat
rapor merah dan mendapat amarah dari orangtua ..”
“Tapi,
Luvi .. kita ..” kata Ama tercegah ketika kami bertiga beradu pandang
dengannya. Gadis yang hampir sempurna cantiknya, bila hatinya pun penuh dengan
kebaikan.
“Kalian
tak ingat, saat aku yang mengerjakan tugas ekonomi, mem-balance kan akuntansi,
dan setelah semua balance .. kalian yang masih dalam kebingungan melirikku dan
meminta diperlihatkan jalan ke-balance-an itu. Kalian menjiplak hasilku, namun
ketika ada satu angka yang belum aku selesaikan tulisannya, kalian
mendiamkanku. Tapi hasil kalian jauh lebih sempurna .. itu yang namanya
pertemanan?”
“Luvi ..
kami juga sama persis menyalin jurnal kamu. Tapi kami meminta Nada untuk
mengoreksinya. Dan dia memberitahukan kejanggalan itu. Dan saat itu, buku
jurnalmu, sudah kamu kumpulkan pada Bu Sarah, guru ekonomi kita. Maaf, Luvi ..
maaf.” terangku. meluruskan sesuatu yang dirasa tak enak untuk dirunut-runut
terus.
Alis
njliret, nanggal sepisan Luvi yang jika digunakan dengan tatapan lembut akan
semakin memancar pesonanya. Namun, alis itu, terangkat, dan selidiknya
menggumam tak karuan, “Kalian sengaja, membuat raporku memerah.” tudingnya.
Ibunya Luvi yang sedari mendengar percakapan Luvi dan teman-temannya semakin
tak enak hati pada suasananya.
“Kenapa
pula harus seperti ini, kamu dijenguk, Luvi .. jangan kobarkan semangat sengit
seperti ini. Mereka sudah minta maaf, ayolah, maafkan mereka!” bujuk ibunya.
Raut cantik Luvi ternyata teralir dari raut indah yang sangat mempesona itu.
Luvi tak
bisa berkata apapun. Sakit hatinya sudah lama terbendung. Dan ketika kami
datang, dia mendramakan segalanya. Supaya kami tahu isi hatinya. Dan supaya
kami sadar diri dan mengindahkan batas pergaulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar