Minggu, 10 April 2016

Luvi, I’m so sorry ..



Luvi, I’m so sorry ..
            Bertahta dalam hati mendulang semua mimpi, aku tak berharap banyak akan ada pertemuan. Dan aku tak berniat sekalipun untuk menyapa sosok yang ada di ujung jalan.
            Perjalanan kami menuju rumah Luvi terhenti, oleh dara jantan yang berparas bluster kearab-jawaan. Arabnya tergurat jelas di alis dan hidungnya. Dan jawanya terdominasi dari melanin coklat yang membalut kulitnya. Dia tak melihatku. Ika dan Ama juga tak melihatnya. Namun, seperti mendapat radar tak disengaja, dia menyapu mata teduhnya dan menatap mataku.
            Aku hanya melihatnya dan sedetikpun tak ada lekuk bibir yang terlukis di wajah, aku mematung dan segera pergi dari titiknya. Tak memberitahukan siapa pun, atas bertemunya bola mata itu.
            Rumah Luvi tak jauh dari rumahnya, mereka satu perumahan dengan blok yang berbeda. Luvi di blok V, dan dia di blok L. Dari L ke V berjarak sepuluh rumah, dan Ika dan Ama tak tahu akan hal itu. Keduanya belum tahu apapun tentang hal ini.
***
            “Masuk .. masuk! Ini temennya Luvi ya .. siapa namanya?” silakan ibunya Luvi tak kalah ramah dengan ibu-ibu SMANRA lainnya. Tak salah, kami memilih sekolah, sekolah elit yang rata-rata orang mampu lah yang mendaftarkan anak mereka di sekolah tersebut. Kebetulan yang mampu itu, juga saling membagi kemampuannya. Namun, sama saja, biar elit, tetap saja, seperti tak mengerti hati menjaga kehadiran guru. Semena karena harta.
            “Ilsya, Ika, sama Ama bu .. sudah lama ya, Luvi tidak masuk sekolah.” basaku, disambut Ika dan Ama yang basa-basi memperkenalkan diri. Kemudian datanglah Luvi, dengan gayanya yang sudah berubah seperti remaja yang tak mau kalah dengan zamannya.
            “Iya, lama sekali ya .. sampai kalian sudah lulus ya?” ramahnya seperti ada janggal di kata ya nya.
            “Tapi, Luvi jadi cantik banget lho, bu .. ga nyangka, kita di SMAIT aja masih buluk gini. Tidak boleh di paras cantik, krudung saja monoton besar dan gedombrang-gedombrang ya .. haha.” celotek Ama mencairkan suasana. Ya, memang busana seperti itu, yang tampil dari jam tujuh sampai kepulangan pukul tengah tiga. Baju, kerudung, dan rok yang gedombrang- gedombrang.
            “Lho, di luar kalian beda dong, masa masih ikut budaya SMANRA, nanti tak laku-laku kalian.” tambah celotek Luvi. Busananya memendek, dengan ornamen pernak-pernik cerah di dadanya, berpasmina simple dan memaras wajah sama seperti remaja pada umumnya. Dia mendekat kemudian menyuguhkan minumnya kepada kami.
            “Vi .. masih ingat kan, kenapa kamu ga mau ke SMANRA lagi?” tanyaku, serambi meletakkan gelas yang dituangkan air ke depan Ika dan Ama. Luvi melihatku sekilas, kemudian Ika dan Ama. Kemudian tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
            Aku bingung, bukan bersilaturahmi untuk mencairkan suasana, malah menjadikan suram begini. “Haha, akh, aku juga sudah lupa. Kenapa kalian masih ingat-ingat lagi. Tapi sampai kapan pun aku belum memaafkannya lho!”
            “Sampai kapan pun?” spontanku. Dia menatap aku lagi. Dan ketika kedua bola mata itu, menusuk mataku, membuat aku sadar akan sakit hatinya.
            “Luvi, kita ke sini bukan untuk memperpanjang kebekuan. Tapi kita ke sini mau minta maaf ke kamu.” jelas Ama mencoba mencairkan suasana. Luvi justru meruncingkan matanya ke sumber suara itu. Dia tak mengalihkan satu detik pun untuk mengintimidasi kami.
            “Kalian tidak tahu, mental itu rapuh ketika kalian menyudutkan aku di depan semua anak-anak di kelas. Mereka tidak ada yang mau berteman denganku, seminggu itu aku beranikan diri untuk masuk, dan seminggu itu, hancur mentalku. Dan semua itu, kalian tahu, gara-gara siapa?” runcingnya, disambut gelengan kami, “Gara-gara kalian!”
            “Ya, karena itu, kami minta maaf!” terang Ika. Dia tak habis pikir, sebenarnya hanya mainan sesaat yang membuatnya menggurau yang tidak-tidak tentang Luvi, menyebabkan mental Luvi lemah dan tak mau kembali lagi. Dia tak habis pikir, kenapa serapuh itu, tak mau kembali pada medan positif yang dapat memberikan dia kesuksesan yang nyata.
***
            Kejadiannya seperti ini.
            Geram melihat sendal-sendal kami disembunyikan Luvi, entah dimana. Kemudian tak tahan, melihat ulah Luvi yang menyelipkan sepatu pantopel lepek kami di atas sela-sela tralis dinding di atas kelas sebelas Girl’s Socilious.
            Ika membuat satu kesepakatan dengan Luvi, “Kapan kau berubah, vi?” tegasnya.
            “Aku berubah? Kau tak pernah mengerti, betapa sakit hatinya aku, ketika aku diperlakukan pilih kasih oleh bapak dan ibu guru di sekolah ini. Kau, Ika. Kau, Ama. Dan kau, Ilsya .. yang selalu mendapat nilai bagus di rapor dan membuat senyum bangga pada orangtua kalian. Sedang, aku .. selalu dan selalu mendapat rapor merah dan mendapat amarah dari orangtua ..”
            “Tapi, Luvi .. kita ..” kata Ama tercegah ketika kami bertiga beradu pandang dengannya. Gadis yang hampir sempurna cantiknya, bila hatinya pun penuh dengan kebaikan.
            “Kalian tak ingat, saat aku yang mengerjakan tugas ekonomi, mem-balance kan akuntansi, dan setelah semua balance .. kalian yang masih dalam kebingungan melirikku dan meminta diperlihatkan jalan ke-balance-an itu. Kalian menjiplak hasilku, namun ketika ada satu angka yang belum aku selesaikan tulisannya, kalian mendiamkanku. Tapi hasil kalian jauh lebih sempurna .. itu yang namanya pertemanan?”
            “Luvi .. kami juga sama persis menyalin jurnal kamu. Tapi kami meminta Nada untuk mengoreksinya. Dan dia memberitahukan kejanggalan itu. Dan saat itu, buku jurnalmu, sudah kamu kumpulkan pada Bu Sarah, guru ekonomi kita. Maaf, Luvi .. maaf.” terangku. meluruskan sesuatu yang dirasa tak enak untuk dirunut-runut terus.
            Alis njliret, nanggal sepisan Luvi yang jika digunakan dengan tatapan lembut akan semakin memancar pesonanya. Namun, alis itu, terangkat, dan selidiknya menggumam tak karuan, “Kalian sengaja, membuat raporku memerah.” tudingnya. Ibunya Luvi yang sedari mendengar percakapan Luvi dan teman-temannya semakin tak enak hati pada suasananya.
            “Kenapa pula harus seperti ini, kamu dijenguk, Luvi .. jangan kobarkan semangat sengit seperti ini. Mereka sudah minta maaf, ayolah, maafkan mereka!” bujuk ibunya. Raut cantik Luvi ternyata teralir dari raut indah yang sangat mempesona itu.
            Luvi tak bisa berkata apapun. Sakit hatinya sudah lama terbendung. Dan ketika kami datang, dia mendramakan segalanya. Supaya kami tahu isi hatinya. Dan supaya kami sadar diri dan mengindahkan batas pergaulan.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar