Masih mengawasi
PEMIRA
BAP di
atas adalah suatu keformalan yang harus diselesaikan sebagai bukti bahwa
bawasra telah melaksanakan tupoksinya sebagai mestinya. Hahay, formalitas.
Dan
masih ada bumbu-bumbu rasa yang tersisa di kampanye kali ini. Awalnya aku tak
hendak meninggalkan uapan dosen yang mendidihkan itu. Karena aku tahu, pasti
ada ilmu di balik uapan itu. Aku masih rajin mengikuti kelas. Dan Annisa
mengambil jatah bolos untuk menjaga capres di kampus ini, FIB, dan kampus orange, FISIP, di hari pertama
capres-capres tersebut berkampanye.
Aku
sudah bersiap di kampusku, semua masa sudah kukondisikan di Lobi. Namun,
berhubung sang pemberi uap tersebut bergegas menuju ruang penguapan. Kami yang
manut pun ikut menerima uapan tersebut.
Annisa
menjalankan aksinya di kampus ilbud. Dia sangat dekat ketika mengawasi, mungkin
menimbulkan satu perasaan yang muncul di salah satu timses capres 1. Hahay,
sedari mengawas mereka menggoda Annisa.
Aku yang
masih di kelas pun, membagi aksi. Annisa mengawas, dan aku membubuhkan tanda
kehadiran meniru identitas Annisa yang hampir mirip dengan tanda tanganku.
Tapi, memang lagi apes. Sang pemberi uapan itu pun mempresensi satu per satu
mahasiswanya. Bukan mengabsen, kalau mengabsen ya hanya melihat yang tidak
masuk, hahay. So, selama ini yang benar ternyata presensi bukan absensi. Di
dapatinya dua tidak ada yang mengacungkan diri, namun, terbubuh kehadirannya.
“Hahay,
Sani .. mana Sani?” tegasnya. Dibalas ceplos oleh sebagian yang lain, “Tidur
mungkin, bu.” Kemudian, beralih pada nama yang selama ini pandai menarik hati
sang pemberi uap itu. “Annisa .. mana Annisa?” tanyanya celingukan, namun,
lagi-lagi dibalas ceplos begitu saja, “Tidur, bu .. nemenin Sani.” jawabnya
asal, membuncah tawa seruangan.
Sang
pemberi uap pun ikut tertawa lepas. Kemudian menegangkan suasana, “Okey, saya
tidak akan marah, atau melakukan apa pun. Tapi, jujur saja, siapa yang membubuhkan
tanda tangan mereka. Masa orangnya ga ada, tanda tangannya ada, ga mungkin ada
qorin mereka kan?” haha .. tawanya ikut membuncah. Seruangan pun ikut tertawa
namun tegang. Akh, no problem for me,
untuk mengakui semua ini, dengan PD nya tangan ini mengacung dengan mantapnya.
“Oh,
hebat nian mengakui kesalahan, iya ya, apa alasannya kenapa bisa membubuhi di
kolom dia.”
“Iya, bu
.. maaf, tapi saya dan Annisa masuk dalam kepanitian pemira, dan saat ini,
Annisa sedang mengawasi capres di FISIP, dan kami yang tidak mau dicekal UTS
jadi saya membubuhkannya. Maaf bu sebelumnya.” terangku. Dosen bersangkutan pun
menerima alasan. Kemudian kepo dengan pembubuh selanjutnya.
“Kemudian,
siapa lagi yang membubuhkan Sani?” alihnya.
“Saya,
bu ..” dia pun mengacungkan tangannya, mengikuti jejakku, dan berdalih, “Itu
tadi Sani TA bu.” Jawabnya lugas.
“Wah,
gampang sekali ya, titip absennya, tidak ada alasan yang lebih menguatkan
lainnya?” keponya sekali lagi.
“Iya,
itu, bu .. saya juga tidak tahu Sani tidak masuk kenapa, yang saya tahu, dia
titip absen ke saya, bu ..” jujurnya. Dihargai dengan penutupan uap yang sangat
melegakan.
Lepas
uapan tersebut, aku bergegas menyusul Annisa dan dua teman bawasra, Aas dan
Wildan, di kampus orange itu. Sementara di kampus putihku, ilmu budaya, dijaga
oleh Irshan, Vannisa, dan kak Iyan. Bawasra sudah membagi jadwal jaga di
masing-masing kampus, sesuai dengan kemampuan yang jaga. Aku mah, lihat
kondisi, lagi ada kelas, aku ga mau jaga. Tapi jika kosong, itu jatahku, dengan
senang hati.
“Eh, sa.
Tadi dipresensi ternyata. Dan maaf ya, aku ngaku aku yang TA in kamu. Tapi, ga
masalah kok setelah itu. Si Sani juga kena TA.” terangku cepat-cepat ketika
dapati sosok belia yang makin cantik itu. “Hahay,
udah lah, biasa aja. Aku biasa TA juga kok, kan ada tiga kali kesempatan untuk
kita bolos, kenapa ga digunain kesempatan itu. Hahay.” Santainya. Kemudian yang
diawasi pun kembali berulah, aku datang ketika mereka sedang ria-rianya selfie
bersama para pendukung. Aku yang duduk dekat Annisa, mendapati keanehan di
depan sana, “Eh, geser dikit-geser dikit.” Cekrek. Seperti ada yang berkata,
“Kena kan, si dia?”
Hahay,
ternyata kau ada fans, kawanku.
***
Malamnya
kami merapat kembali. hujan mengguyur PKM dengan sangat derasnya. Kami
merapatkan diri lebih rapat lagi. Kemudian tak ku sangka aku dan Irshan
mendapati suatu kejanggalan dalam pemira ini. Anak-anak bawasra pun dikumpulkan
di bawah tangga demi menyelidiki pelanggaran.
“Ini ada
pengaduan masuk, isinya tepat pukul 11 malam tadi, sebelum masuk masa kampanye
setelah pukul 12, timses capres 1 mengunggah satu pamflet kampanye.” mulai mbak
Tari dengan bukti-bukti di tangan.
Tim bawasra
IT yang dikhususkan mengawas di media sosial pun kecolongan dengan hal ini,
“Iya, timses 1 juga melakukan satu pelanggaran, dia memberikan gratifikasi pada
para peserta pemira. Mereka membagikan permen, dan ini masuk dalam pelanggaran
ringan.” tambahku menerangkan kejadian. “Ya sudah, berarti kedua pelanggaran itu bisa dapat
sanksi pengurangan suara. Udah gitu aja, clear kan, ga ada lagi masalah yang
dilakukan mereka, capres 2 ada masalah lagi.” jelas wildan memecahkan masalah.
“Haha,
capres dua mah, malah menyembunyikan identitas mereka dengan menyamar sebagai
pengumpul aspirasi, tanpa membuka diri bahwa mereka calon presiden yang
mengikuti pemira ini.” cerita Irshan yang bingung dengan kampanye yang mereka
lakukan.
“Haha,
itu style, shan .. besok kita lebih awas lagi sama dua capres ini.” tegas
Annisa memicingkan mata dan bertekad menemukan kesalahan mereka.
Selesai
merapat, bawasra kembali lagi pada rapat panitia yang membahas teknis
selanjutnya dan berujung pada melipat-lipat kertas suara. Bersamaan itu, fans
Annisa, menyanyikan lagu yang tak tahu liriknya, yang terdengar hanya
genjrengan dan lirik, “Annisaaa .. Annisaaa .. datanglah!” seterusnya .. tapi
tak digubris oleh Annisa, ya secara, dia telah menakhlukan hati komdis di
pergulatan sengit Ospek, pagi sampai sorenya digertak, dan malamnya, belia
cantik itu berkumpul ngopi-ngopi dengan para komdis, haduh.
***
Ini
giliran aku jaga capres 1 di kampus merah, fakultas hukum. Tepat pukul 9,
bersama Dewi, yang juga bawasra aktif hari H, menjaga mereka. Tak kulihat
gelagat aneh yang mencurigakan. Semua seperti kemarin, mereka membagikan permen
gratifikasinya tersebut. Sepanjang mading hukum, juga terpanjang pamflet
kampanye mereka yang sudah diberi cap oleh KPR. Mungkin mereka, lebih patuh di
hari kedua ini.
Mereka juga
lengang membebaskan kami dari pengawasan yang sangat ketat. Capres langsung ke
tengah lapangan hukum, dan berorasi ini itu, kami bawasra pun mengawasi dari
jarak yang tak mendekat, tapi seolah si kacamata itu mendekat dan berkata, “Kok
ga kaya yang jaga kemarin, yang kemarin ngawasinnya deket-deket. Sekarang
jauh-jauh ya ..” justru si kacamata itu yang bergegas merapat dan meminta, “Ayo
buat kenang-kenangan!” bawasra yang lain lari, tertinggal aku, Albi, dan dua
pasang capres ini. Cepret.
Haduh,
kena marah ni bawasra satu ini, “Gimana si, kamu lagi jadi bawasra. Ih, kamu
udah bikin satu kesalahan.” emosinya, aku yang bingung dengan semuanya pun tak
cepat mencerna, “Emang apa salahku?”
“Salahmu?
Banyak, semua salah!” marahnya. Aku tak habis pikir dengan suasana seperti ini,
timses yang lain pun seakan tidak terima capres nya berfoto ria dengan bawasra.
“Ni sya
.. kalau kamu foto bareng capres mana pun, itu bisa jadi bukti terkuat untuk
menyudutkan kamu. Itu bisa mereka gunakan untuk melemahkan kamu di penggugatan
suara nanti.” jelas Wildan. Iya kira, aku memihak pada sebelah. Dan aku harus
apa .. aku duduk lunglai diam, merapat bersama Dewi.
Ada saja
yang baik hati, “Sudah lah, kamu keren, tidak terjadi apapun ketika kamu
dibegitukan. Kamu bahkan kuat dan tidak menangis.” sabarnya, membungahkan
hatiku. Haduh, masalah oh masalah, semoga saja dia menyayangiku.
***
Rapat
malam kali ini aku membawa adikku untuk memberi tahu kepadanya, “Ini lho,
lika-liku kampus.” Dan aku lupa jika dia adik yang spesial. Dia tidak boleh
kedinginan, tidak boleh tersudutkan, tidak boleh nerveous, sedaftar tidak boleh
yang sangat banyak yang membuatnya akan mengejang jika itu dilanggar.
Aku lupa
tak memberinya duduk di karpet. Dia bahkan memojok sendiri sambil belajar di
depan sekre. Kutinggal asyik merapat. Lepas selesai, dia memberitahuku, dia
lelah dan ingin pulang. Aku yang sadar ini sudah larut pun, segera menerabas
hujan.
Tapi,
“Mbak Ilsya – mbak Ilsya ..” panggilnya ketika aku sedang memantaskan kontakku
dengan motor, dia sudah terjatuh dan akan mengejang. Sontak aku memeluk
dirinya, ditengah guyuran hujan, aku seakan meminta tolong pada sekre terdekat.
Dia yang dituju pun kian mendekat dan menyuruh cewek di dalam sekre itu untuk
membantu.
Semua
membantu, membaringkannya di atas matras, dan memijit-mijiti kakinya. Dia yang
cekatan pun membuatkan teh hangat untuk adikku. Aku seakan maras, takut adikku
terjadi apa-apa. Salahku juga membuatnya lama menunggu duduk di lantai.
“Iya, dia
memang biasa seperti itu.” ucapku, membela adikku untuk tidak disangka ini dan
itu, “Oalah, ini sakit apa?” tanya mahasiswa yang memang kepo dengan urusan
obat-obatan, karena dia kuliah di jurusan farmasi.
“Epilepsi,
sudah sejak SMP dia seperti ini, saya takut UN SMA nanti dia makin besar
kejangnya.” curhatku. Dan dia yang kebetulan menyadari ada laki-laki di sekre
itu menyuruhnya untuk keluar terlebih dahulu, “Eits kamu, keluar dulu!” suruhnya.
“Ya
sudah, belajarnya sewajarnya saja, jangan melulu belajar, istirahat juga perlu.
Okay, udah mendingan?” nasihatnya.
Adikku
memang kuat, dia segera bangkit dari kejangnya. Kemudian meminta pulang di
tengah derasnya guyuran. Aku juga lupa membawa dua helm, sehingga helm yang ku
kenakan, ku berikan padanya, dan aku mengendarai tanpa pengaman tersebut.
Dengan hati-hati aku membawanya pulang .. dan di remang cahaya itu, ku dapati
si kacamata itu terlihat melepas, aku tak merasakan apapun, yang ku tahu dia
mirip artis Ringgo. Haha.
***
Tiga
hari sama-sama mengawas kampanye, gini giliran tak ada awas-awasan dan rapat untuk
dua hari ini, bawasra benar-benar tenang menghadapi semuanya, tapi, tenang
untuk mempersiapkan gugatan-gugatan yang akan dituangkan dalam masa gugatan.
Tapi
setelah dua hari itu, Unsoed diguyur hujan sangat derasnya. Kami yang jauh dari
lokasi hanya menunggu hasil. Alhasil, mereka yang menggugat menerima gugatannya
dengan cara yang damai. Yang merasa melanggar mau dikurangi suaranya, dan yang
merasa melapor sudah mengerti hasil suaranya akan seperti apa.
Serempak
pencoblosan itu dibuka, aku juga turut mengawasi jalan PPR untuk melayani
dengan penuh suka cita. Menyelasar, kalau-kalau ada TPS yang tidak dijaga, dan
mencari PPR yang bersangkutan. Serambi membidik mading-mading yang tertempel
pamflet kampanye dan mencopotinya.
“Ada
masalah ni, TPS di Fisip tidak boleh beroperasi oleh bem Fisip, dalih mereka,
ketua KPR belum silaturahmi dengan presbem Fisip. Mereka merasa tidak dihargai.
Dan ijin PPR di sana tidak diberikan.” gelisah Irshan, memberitahukan
kejadian di kampus orange itu. “Terus ada
respon dari KPR?” tanggap Annisa.
“Iya,
ada. Kak Adnan sedang negosiasi dengan presbem dan wadek 3 Fisip, sekarang kak
Adnan sama humas KPR lagi minta ijin buat dibolehkannya PPR membuka TPS di
Fisip.” jelasnya. Melegakan kami yang tak bisa berbuat apapun. Ya, terang saja,
bawasra tak punya hak menyelesaikan masalah silaturahmi itu, harus ketua KPR
nya sendiri yang turun tangan akan hal itu.
“Kok
bisa ya, calon pertama juga dari Fisip kan, apa ada masalah dalam kampus orange
itu.” penasaranku menutup hari ini. Aku yang sedari pagi sudah mengawas itu pun
kembali pada sarang tercintaku, pada kampus putih yang sore itu masih ramai
lalu lalang aktivitas mahasiswa di sana.
***
Esok harinya, kami
benar-benar bernafas lega. TPS Fisip diperbolehkan beroperasi. Aku yang
mendengar kabar itu, segera bersama Aas meluncur ke kampus sosial tersebut.
Ku
dapati si kacamata sedang bernarsis ria bersama para pendukungnya, mungkin
temannya, atau mungkin memang benar-benar mahasiswa yang mendukungnya. Sebelumnya
aku sudah memberikan hak suaraku di sarang tercintaku, kelingkingku biru bekas
tinta suara itu.
Kadang
aku melepas muka ketika ada lelaki yang mendekat, pasalnya sejak SD sampai SMA
di SMANRA aku diajarkan ghadhul bashar atau menahan pandangan. Tak mengerti
konsep menahan pandangan itu seperti apa, dan aku hanya mempraktikan dengan
melempar muka tak mau melihat, kaya sombong ya.
Dia
mendekat, aku pura-pura mengalihkan pada yang lain. Namun, tak layaknya sebuah
komunikasi bila saling memungkuri. Si kacamata itu melepas senyum, aku pun
membalasnya. Dia memperlihatkan kelingkingnya yang sudah tertinta biru bekas
mencoblos tadi, “Sudah nyoblos?” tanyanya. Aku yang sudah pun memperlihatkan
kelingkingku, “Sudah dong!” cepatku. Aku tak sebanding dengannya, kelingkingku nampak begitu kecil dibandingkan
kelingkingnya. Sepertinya ada aura aneh yang menelusup. Tapi aku tak pernah
memberi kesempatan pada hatiku untuk langsung percaya begitu saja. Karena Ilsya
yang dulu juga pernah menahan luka. Dan untuk luka selanjutnya aku harus
memperhitungkannya.
“Eh, jam
ini ada seminar tentang HIV.” ajaknya sambil mencari-cari lembaran pamflet itu
di tas kecilnya. Namun, di jam yang sama aku harus berada di tempat penguapan.
Menerima uap ilmu yang mencerdaskan.
“Udah-udah,
ga usah dicari. Aku juga ga bisa ke seminar itu, ada kelas lagi habis ini.” terangku.
Membuatnya menjelaskan sekali lagi tentang seminar itu. Dan mungkin bodohnya
aku, atau terlalu patuh pada ghadhul bashar itu, aku menolaknya perlahan, dia
pun melangkah sendiri meninggalkan pendopo terbuka Fisip menuju tempat ruangan
itu. Yang kulihat hanya punggung yang semakin menghilang saja.
***
“Ilsya,
kamu dimana? Ayo pulang, kakak kamu mau melahirkan, ini sudah ada di Bunda Arif.
Kamu cepetan ke sini bawa jarit sama selimut.” suruh Umi yang memang gelisah
menunggu sang kakak.
Di
samping itu juga ada hasil penghitungan suara di Rektorat. Aku yang sibuk di
sana berusaha bernegosiasi, pamit pulang, segera ke titik kakak. Aku tak sempat melihat kakak menahan sakit, aku justru
melihat rona-rona bahagia yang timbul karena bertambahnya satu anggota lagi
dalam keluarga kami. Kami sebut anak ke tujuh dari enam bersaudara. Pasalnya,
bayi lucu itu adalah cucu pertama Umi dan Abah, dari kakak pertamaku, kak
Shofa.
Bersamaan dengan
ke-bahagiaan itu, terdengar suara dari sinyal jauh itu, Annisa mengabarkan,
“Penghitungan
suaranya sudah selesai, dan capres satu yang jadi pemenangnya. Perolehannya
juga tak kalah jauh, seimbang di eksak dan unggul di kampus sosial.” infonya
membuat sumringahku tergambar juga, alhamdulillah, deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar