Minggu, 10 April 2016

Masih mengawasi PEMIRA



Masih mengawasi PEMIRA

            BAP di atas adalah suatu keformalan yang harus diselesaikan sebagai bukti bahwa bawasra telah melaksanakan tupoksinya sebagai mestinya. Hahay, formalitas.
            Dan masih ada bumbu-bumbu rasa yang tersisa di kampanye kali ini. Awalnya aku tak hendak meninggalkan uapan dosen yang mendidihkan itu. Karena aku tahu, pasti ada ilmu di balik uapan itu. Aku masih rajin mengikuti kelas. Dan Annisa mengambil jatah bolos untuk menjaga capres di kampus ini, FIB, dan kampus orange, FISIP, di hari pertama capres-capres tersebut berkampanye.
            Aku sudah bersiap di kampusku, semua masa sudah kukondisikan di Lobi. Namun, berhubung sang pemberi uap tersebut bergegas menuju ruang penguapan. Kami yang manut pun ikut menerima uapan tersebut.
            Annisa menjalankan aksinya di kampus ilbud. Dia sangat dekat ketika mengawasi, mungkin menimbulkan satu perasaan yang muncul di salah satu timses capres 1. Hahay, sedari mengawas mereka menggoda Annisa.
            Aku yang masih di kelas pun, membagi aksi. Annisa mengawas, dan aku membubuhkan tanda kehadiran meniru identitas Annisa yang hampir mirip dengan tanda tanganku. Tapi, memang lagi apes. Sang pemberi uapan itu pun mempresensi satu per satu mahasiswanya. Bukan mengabsen, kalau mengabsen ya hanya melihat yang tidak masuk, hahay. So, selama ini yang benar ternyata presensi bukan absensi. Di dapatinya dua tidak ada yang mengacungkan diri, namun, terbubuh kehadirannya.
            “Hahay, Sani .. mana Sani?” tegasnya. Dibalas ceplos oleh sebagian yang lain, “Tidur mungkin, bu.” Kemudian, beralih pada nama yang selama ini pandai menarik hati sang pemberi uap itu. “Annisa .. mana Annisa?” tanyanya celingukan, namun, lagi-lagi dibalas ceplos begitu saja, “Tidur, bu .. nemenin Sani.” jawabnya asal, membuncah tawa seruangan.
            Sang pemberi uap pun ikut tertawa lepas. Kemudian menegangkan suasana, “Okey, saya tidak akan marah, atau melakukan apa pun. Tapi, jujur saja, siapa yang membubuhkan tanda tangan mereka. Masa orangnya ga ada, tanda tangannya ada, ga mungkin ada qorin mereka kan?” haha .. tawanya ikut membuncah. Seruangan pun ikut tertawa namun tegang. Akh, no problem for me, untuk mengakui semua ini, dengan PD nya tangan ini mengacung dengan mantapnya.
            “Oh, hebat nian mengakui kesalahan, iya ya, apa alasannya kenapa bisa membubuhi di kolom dia.”
            “Iya, bu .. maaf, tapi saya dan Annisa masuk dalam kepanitian pemira, dan saat ini, Annisa sedang mengawasi capres di FISIP, dan kami yang tidak mau dicekal UTS jadi saya membubuhkannya. Maaf bu sebelumnya.” terangku. Dosen bersangkutan pun menerima alasan. Kemudian kepo dengan pembubuh selanjutnya.
            “Kemudian, siapa lagi yang membubuhkan Sani?” alihnya.
            “Saya, bu ..” dia pun mengacungkan tangannya, mengikuti jejakku, dan berdalih, “Itu tadi Sani TA bu.” Jawabnya lugas.
            “Wah, gampang sekali ya, titip absennya, tidak ada alasan yang lebih menguatkan lainnya?” keponya sekali lagi.
            “Iya, itu, bu .. saya juga tidak tahu Sani tidak masuk kenapa, yang saya tahu, dia titip absen ke saya, bu ..” jujurnya. Dihargai dengan penutupan uap yang sangat melegakan.
            Lepas uapan tersebut, aku bergegas menyusul Annisa dan dua teman bawasra, Aas dan Wildan, di kampus orange itu. Sementara di kampus putihku, ilmu budaya, dijaga oleh Irshan, Vannisa, dan kak Iyan. Bawasra sudah membagi jadwal jaga di masing-masing kampus, sesuai dengan kemampuan yang jaga. Aku mah, lihat kondisi, lagi ada kelas, aku ga mau jaga. Tapi jika kosong, itu jatahku, dengan senang hati.
            “Eh, sa. Tadi dipresensi ternyata. Dan maaf ya, aku ngaku aku yang TA in kamu. Tapi, ga masalah kok setelah itu. Si Sani juga kena TA.” terangku cepat-cepat ketika dapati sosok belia yang makin cantik itu.              “Hahay, udah lah, biasa aja. Aku biasa TA juga kok, kan ada tiga kali kesempatan untuk kita bolos, kenapa ga digunain kesempatan itu. Hahay.” Santainya. Kemudian yang diawasi pun kembali berulah, aku datang ketika mereka sedang ria-rianya selfie bersama para pendukung. Aku yang duduk dekat Annisa, mendapati keanehan di depan sana, “Eh, geser dikit-geser dikit.” Cekrek. Seperti ada yang berkata, “Kena kan, si dia?”
            Hahay, ternyata kau ada fans, kawanku.
***
            Malamnya kami merapat kembali. hujan mengguyur PKM dengan sangat derasnya. Kami merapatkan diri lebih rapat lagi. Kemudian tak ku sangka aku dan Irshan mendapati suatu kejanggalan dalam pemira ini. Anak-anak bawasra pun dikumpulkan di bawah tangga demi menyelidiki pelanggaran.
            “Ini ada pengaduan masuk, isinya tepat pukul 11 malam tadi, sebelum masuk masa kampanye setelah pukul 12, timses capres 1 mengunggah satu pamflet kampanye.” mulai mbak Tari dengan bukti-bukti di tangan.
            Tim bawasra IT yang dikhususkan mengawas di media sosial pun kecolongan dengan hal ini, “Iya, timses 1 juga melakukan satu pelanggaran, dia memberikan gratifikasi pada para peserta pemira. Mereka membagikan permen, dan ini masuk dalam pelanggaran ringan.” tambahku menerangkan kejadian. “Ya sudah, berarti kedua pelanggaran itu bisa dapat sanksi pengurangan suara. Udah gitu aja, clear kan, ga ada lagi masalah yang dilakukan mereka, capres 2 ada masalah lagi.” jelas wildan memecahkan masalah.
            “Haha, capres dua mah, malah menyembunyikan identitas mereka dengan menyamar sebagai pengumpul aspirasi, tanpa membuka diri bahwa mereka calon presiden yang mengikuti pemira ini.” cerita Irshan yang bingung dengan kampanye yang mereka lakukan.

            “Haha, itu style, shan .. besok kita lebih awas lagi sama dua capres ini.” tegas Annisa memicingkan mata dan bertekad menemukan kesalahan mereka.
            Selesai merapat, bawasra kembali lagi pada rapat panitia yang membahas teknis selanjutnya dan berujung pada melipat-lipat kertas suara. Bersamaan itu, fans Annisa, menyanyikan lagu yang tak tahu liriknya, yang terdengar hanya genjrengan dan lirik, “Annisaaa .. Annisaaa .. datanglah!” seterusnya .. tapi tak digubris oleh Annisa, ya secara, dia telah menakhlukan hati komdis di pergulatan sengit Ospek, pagi sampai sorenya digertak, dan malamnya, belia cantik itu berkumpul ngopi-ngopi dengan para komdis, haduh.
***
            Ini giliran aku jaga capres 1 di kampus merah, fakultas hukum. Tepat pukul 9, bersama Dewi, yang juga bawasra aktif hari H, menjaga mereka. Tak kulihat gelagat aneh yang mencurigakan. Semua seperti kemarin, mereka membagikan permen gratifikasinya tersebut. Sepanjang mading hukum, juga terpanjang pamflet kampanye mereka yang sudah diberi cap oleh KPR. Mungkin mereka, lebih patuh di hari kedua ini.
Mereka juga lengang membebaskan kami dari pengawasan yang sangat ketat. Capres langsung ke tengah lapangan hukum, dan berorasi ini itu, kami bawasra pun mengawasi dari jarak yang tak mendekat, tapi seolah si kacamata itu mendekat dan berkata, “Kok ga kaya yang jaga kemarin, yang kemarin ngawasinnya deket-deket. Sekarang jauh-jauh ya ..” justru si kacamata itu yang bergegas merapat dan meminta, “Ayo buat kenang-kenangan!” bawasra yang lain lari, tertinggal aku, Albi, dan dua pasang capres ini. Cepret.
            Haduh, kena marah ni bawasra satu ini, “Gimana si, kamu lagi jadi bawasra. Ih, kamu udah bikin satu kesalahan.” emosinya, aku yang bingung dengan semuanya pun tak cepat mencerna, “Emang apa salahku?”
            “Salahmu? Banyak, semua salah!” marahnya. Aku tak habis pikir dengan suasana seperti ini, timses yang lain pun seakan tidak terima capres nya berfoto ria dengan bawasra.
            “Ni sya .. kalau kamu foto bareng capres mana pun, itu bisa jadi bukti terkuat untuk menyudutkan kamu. Itu bisa mereka gunakan untuk melemahkan kamu di penggugatan suara nanti.” jelas Wildan. Iya kira, aku memihak pada sebelah. Dan aku harus apa .. aku duduk lunglai diam, merapat bersama Dewi.
            Ada saja yang baik hati, “Sudah lah, kamu keren, tidak terjadi apapun ketika kamu dibegitukan. Kamu bahkan kuat dan tidak menangis.” sabarnya, membungahkan hatiku. Haduh, masalah oh masalah, semoga saja dia menyayangiku.
***
            Rapat malam kali ini aku membawa adikku untuk memberi tahu kepadanya, “Ini lho, lika-liku kampus.” Dan aku lupa jika dia adik yang spesial. Dia tidak boleh kedinginan, tidak boleh tersudutkan, tidak boleh nerveous, sedaftar tidak boleh yang sangat banyak yang membuatnya akan mengejang jika itu dilanggar.
            Aku lupa tak memberinya duduk di karpet. Dia bahkan memojok sendiri sambil belajar di depan sekre. Kutinggal asyik merapat. Lepas selesai, dia memberitahuku, dia lelah dan ingin pulang. Aku yang sadar ini sudah larut pun, segera menerabas hujan.
            Tapi, “Mbak Ilsya – mbak Ilsya ..” panggilnya ketika aku sedang memantaskan kontakku dengan motor, dia sudah terjatuh dan akan mengejang. Sontak aku memeluk dirinya, ditengah guyuran hujan, aku seakan meminta tolong pada sekre terdekat. Dia yang dituju pun kian mendekat dan menyuruh cewek di dalam sekre itu untuk membantu.
            Semua membantu, membaringkannya di atas matras, dan memijit-mijiti kakinya. Dia yang cekatan pun membuatkan teh hangat untuk adikku. Aku seakan maras, takut adikku terjadi apa-apa. Salahku juga membuatnya lama menunggu duduk di lantai.
            “Iya, dia memang biasa seperti itu.” ucapku, membela adikku untuk tidak disangka ini dan itu, “Oalah, ini sakit apa?” tanya mahasiswa yang memang kepo dengan urusan obat-obatan, karena dia kuliah di jurusan farmasi.
            “Epilepsi, sudah sejak SMP dia seperti ini, saya takut UN SMA nanti dia makin besar kejangnya.” curhatku. Dan dia yang kebetulan menyadari ada laki-laki di sekre itu menyuruhnya untuk keluar terlebih dahulu, “Eits kamu, keluar dulu!” suruhnya.
            “Ya sudah, belajarnya sewajarnya saja, jangan melulu belajar, istirahat juga perlu. Okay, udah mendingan?” nasihatnya.
            Adikku memang kuat, dia segera bangkit dari kejangnya. Kemudian meminta pulang di tengah derasnya guyuran. Aku juga lupa membawa dua helm, sehingga helm yang ku kenakan, ku berikan padanya, dan aku mengendarai tanpa pengaman tersebut. Dengan hati-hati aku membawanya pulang .. dan di remang cahaya itu, ku dapati si kacamata itu terlihat melepas, aku tak merasakan apapun, yang ku tahu dia mirip artis Ringgo. Haha.
***
            Tiga hari sama-sama mengawas kampanye, gini giliran tak ada awas-awasan dan rapat untuk dua hari ini, bawasra benar-benar tenang menghadapi semuanya, tapi, tenang untuk mempersiapkan gugatan-gugatan yang akan dituangkan dalam masa gugatan.
            Tapi setelah dua hari itu, Unsoed diguyur hujan sangat derasnya. Kami yang jauh dari lokasi hanya menunggu hasil. Alhasil, mereka yang menggugat menerima gugatannya dengan cara yang damai. Yang merasa melanggar mau dikurangi suaranya, dan yang merasa melapor sudah mengerti hasil suaranya akan seperti apa.
            Serempak pencoblosan itu dibuka, aku juga turut mengawasi jalan PPR untuk melayani dengan penuh suka cita. Menyelasar, kalau-kalau ada TPS yang tidak dijaga, dan mencari PPR yang bersangkutan. Serambi membidik mading-mading yang tertempel pamflet kampanye dan mencopotinya.
            “Ada masalah ni, TPS di Fisip tidak boleh beroperasi oleh bem Fisip, dalih mereka, ketua KPR belum silaturahmi dengan presbem Fisip. Mereka merasa tidak dihargai. Dan ijin PPR di sana tidak diberikan.” gelisah Irshan,  memberitahukan kejadian di kampus orange itu.  “Terus ada respon dari KPR?” tanggap Annisa.
            “Iya, ada. Kak Adnan sedang negosiasi dengan presbem dan wadek 3 Fisip, sekarang kak Adnan sama humas KPR lagi minta ijin buat dibolehkannya PPR membuka TPS di Fisip.” jelasnya. Melegakan kami yang tak bisa berbuat apapun. Ya, terang saja, bawasra tak punya hak menyelesaikan masalah silaturahmi itu, harus ketua KPR nya sendiri yang turun tangan akan hal itu.
            “Kok bisa ya, calon pertama juga dari Fisip kan, apa ada masalah dalam kampus orange itu.” penasaranku menutup hari ini. Aku yang sedari pagi sudah mengawas itu pun kembali pada sarang tercintaku, pada kampus putih yang sore itu masih ramai lalu lalang aktivitas mahasiswa di sana.
***
Esok harinya, kami benar-benar bernafas lega. TPS Fisip diperbolehkan beroperasi. Aku yang mendengar kabar itu, segera bersama Aas meluncur ke kampus sosial tersebut.
            Ku dapati si kacamata sedang bernarsis ria bersama para pendukungnya, mungkin temannya, atau mungkin memang benar-benar mahasiswa yang mendukungnya. Sebelumnya aku sudah memberikan hak suaraku di sarang tercintaku, kelingkingku biru bekas tinta suara itu.
            Kadang aku melepas muka ketika ada lelaki yang mendekat, pasalnya sejak SD sampai SMA di SMANRA aku diajarkan ghadhul bashar atau menahan pandangan. Tak mengerti konsep menahan pandangan itu seperti apa, dan aku hanya mempraktikan dengan melempar muka tak mau melihat, kaya sombong ya.
            Dia mendekat, aku pura-pura mengalihkan pada yang lain. Namun, tak layaknya sebuah komunikasi bila saling memungkuri. Si kacamata itu melepas senyum, aku pun membalasnya. Dia memperlihatkan kelingkingnya yang sudah tertinta biru bekas mencoblos tadi, “Sudah nyoblos?” tanyanya. Aku yang sudah pun memperlihatkan kelingkingku, “Sudah dong!” cepatku. Aku tak sebanding dengannya, kelingkingku nampak begitu kecil dibandingkan kelingkingnya. Sepertinya ada aura aneh yang menelusup. Tapi aku tak pernah memberi kesempatan pada hatiku untuk langsung percaya begitu saja. Karena Ilsya yang dulu juga pernah menahan luka. Dan untuk luka selanjutnya aku harus memperhitungkannya.
            “Eh, jam ini ada seminar tentang HIV.” ajaknya sambil mencari-cari lembaran pamflet itu di tas kecilnya. Namun, di jam yang sama aku harus berada di tempat penguapan. Menerima uap ilmu yang mencerdaskan.
            “Udah-udah, ga usah dicari. Aku juga ga bisa ke seminar itu, ada kelas lagi habis ini.” terangku. Membuatnya menjelaskan sekali lagi tentang seminar itu. Dan mungkin bodohnya aku, atau terlalu patuh pada ghadhul bashar itu, aku menolaknya perlahan, dia pun melangkah sendiri meninggalkan pendopo terbuka Fisip menuju tempat ruangan itu. Yang kulihat hanya punggung yang semakin menghilang saja.
***
            “Ilsya, kamu dimana? Ayo pulang, kakak kamu mau melahirkan, ini sudah ada di Bunda Arif. Kamu cepetan ke sini bawa jarit sama selimut.” suruh Umi yang memang gelisah menunggu sang kakak.
            Di samping itu juga ada hasil penghitungan suara di Rektorat. Aku yang sibuk di sana berusaha bernegosiasi, pamit pulang, segera ke titik kakak.                                                   Aku tak sempat melihat kakak menahan sakit, aku justru melihat rona-rona bahagia yang timbul karena bertambahnya satu anggota lagi dalam keluarga kami. Kami sebut anak ke tujuh dari enam bersaudara. Pasalnya, bayi lucu itu adalah cucu pertama Umi dan Abah, dari kakak pertamaku, kak Shofa.
Bersamaan dengan ke-bahagiaan itu, terdengar suara dari sinyal jauh itu, Annisa mengabarkan,  “Penghitungan suaranya sudah selesai, dan capres satu yang jadi pemenangnya. Perolehannya juga tak kalah jauh, seimbang di eksak dan unggul di kampus sosial.” infonya membuat sumringahku tergambar juga, alhamdulillah, deh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar