Minggu, 10 April 2016

Mengejar Beasiswa



Mengejar Beasiswa

            Bukan satu dua kali aku meminta bidikmisi (BM) kepada pihak sekolah, SMANRA. Namun berkali-kali, dan respon mereka seperti tidak mengindahkan. Aku mengerti mengapa? Karena rumahku yang tak layak untuk dimasukan ke dalam salah satu penerima beasiswa. Ya, memang lumayan lapang untuk dimasuki. Namun ketika sudah masuk, mereka pasti akan menganga, karena tak ada perabotan mewah yang menghiasi kelapangan itu.
Dulu memang, sempat merasakan fasilitas itu, namun sekarang. Sejak ayah di PHK. Kursi yang empuk itu dijual dan diganti dengan kursi seadanya, bahkan bisa dibilang sejadinya. Reyot sana sini dan sudah tidak ada kenyamanan untuk berlama-lama di dalamnya. Luarnya saja indah, namun ..
            Belum lagi, “Nak, Abah sudah di PHK, pesangon Abah sudah habis untuk membayar hutang sana-sini. Abah tidak bisa membiayai kamu untuk terus lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Sebaiknya kamu mencari perusahaan saja, jangan mencari perguruan tinggi. Uangmu bisa untuk menghidupi kamu sendiri.” Ucapnya membuat sesak di dada. Kenapa? Kenapa aku yang berpotensi ini, tak dapat, tak bisa, bahkan harus bekerja. Mereka yang mampu namun rumahnya saja yang reyot lolos dari permintaan beasiswa yang berbelit. Tak perlu meminta, bahkan datang sendiri untuk mereka. Tapi, aku?
            Tak patah arang sampai di sini. Aku mencari-cari informasi sebanyak-banyaknya. Dan mengutarakan maksud hatiku pada semuanya. Pada kawan seperjuangan, pada guru-guru pemberi harapan, bahkan kepada kepala sekolah yang sukar ditemui. Dan akhirnya, penjelasanku cukup menyakinkan mereka, mereka memanggil semua penerima BM itu ..
            Aku diantaranya.
            “Sekolah mengumpulkan kalian di sini, untuk memberitahukan bahwa kalian yang sekolah daftarkan sebagai calon penerima beasiswa bidikmisi. Ini ada pin dan password. Kemudian kalian penuhi persyaratan yang ada di sana.” Jelas kepala sekolah.
            Namun ada yang mampu menyela, “Maaf, Pak! Saya bukannya menolak untuk menerima Bidikmisi itu. Namun kedua orangtua saya mampu membiayai saya sampai saya lulus nanti.” Katanya menolak menerima beasiswa itu.
            Bukankah mereka tahu dia tidak mampu? Mengapa dia tidak menerimanya?
            Ternyata kesederhanaannya bukan perkiraan apakah dia mampu ataupun tidak. Ternyata dengan rumah yang seadanya. Dan perilaku yang indah apa adanya. Membuat dia dan keluarganya berhasil mendirikan sebuah perusahaan yang income nya terus menerus mengalir tiada henti. Cabangnya berkembang dimana-mana, namun rumahnya masihlah tetap sesederhana itu. Karena ruko-rukonya nampak lebih indah dari rumahnya. Dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengelola usahanya itu. Namun aku?
            Tidak sesekali aku melihat mereka, ada yang nampak mampu dan ada pula memang benar-benar tak mampu. Tapi semua tergolong lumayan untuk menjadi penerima beasiswa itu. Aku mendapatkan PIN dan Password. Mengajak mereka untuk secepatnya menyelesaikan persyaratan. Jauh hari sebelum jatuh penutupan.
            “Bareng ya .. besok urusin semuanya ya ..!” mantapku mengajak teman dekatku.
            “Nanti lah, fokus UN dulu ..”
            “Kok nanti-nanti .. nanti malah ga keburu.”
            “Kamu urus dulu aja. Aku nanti aja. Pasti keburu kok.”
            Aku hanya diam. Tak ada sepatah nasehatpun mencecar sahabatku. Dan aku harus mengurus semua sendiri. Lebih awal adalah waktu keberuntungan. Lebih cepat lebih baik. Sebelum semua melambai begitu saja. Jangan lengah terhadap kegagalan.
***
            Abah sudah memberi sinyal bahagianya. Dia membantuku untuk tetap berjuang mempertahankan keinginanku. Ke masa depan indah gemilang. Dia sesegera mungkin meminta dan menjelaskan keadaannya pada RT, RW, Kelurahan setempat tentang ini dan itu. menceritakan rodanya yang kini berada dibawah. Mereka mempercayainya dan mengeluarkan surat keterangan tak mampu.
            Aku yang tak mau berbohong juga, jujur sejujurnya tanpa pernah memblurkan rumah yang lapang ini. Hunting dengan kamera pinjaman, rumah ini terabadikan. Dan semua keluarga dijejerkan untuk mendukung aku. Satu kebahagiaan dalam hati, ketika mereka ridho dengan semua ini. Dan tak ada kecemburuan diantaranya.
            Pajak Bumi Bangunan dikumpulkan, rekening listrik disatukan, penghasilan dagang kami yang beralih profesi sebegai bendahara SHS Nusantara kini menjadi pedagang chanai di kantin SHS Nusantara juga dilampirkan dalam surat keterangan penghasilan oleh Lurah setempat.
            Aku stay di warnet tepat pukul empat sore. Dan pendaftaran itu memakan waktu yang lumayan menyita. Men-scan data-data. Untung warnetnya mau membantu. Semua data aku serahkan pada mereka untuk di scan. Dan aku sibuk mengutak-atik persyaratan. Mengisi apa yang seharusnya diisi. Dan memasukkan apa yang sudah di scan. Meng-compres foto agar cukup dengan daya.
            Ada data diri, data ekonomi, data kebendaan, data rumah, kendaraan, barang yang dimiliki, luas tanah, pajak terutang, penghasilan orang tua, sampai utang piutang orangtua. Semua gamblang kini aku mengetahuinya. Mereka lelah menutup utang yang perbulan harus segera ditutup. Mereka tidak menyisihkan untukku. Namun aku akan menyisihkan untuk mereka. 
            Pandangan mereka yang menginginkan aku bekerja. Sempat aku turuti mereka menjadi cashier di sebuah pusat oleh-oleh khas Nusantara. Dan itu hanya bertahan satu bulan saja. Karena hatiku belum rela aku bekerja seperti itu, seharian full menjaga toko, dan tidak ada ruang lepas untuk berkenalan dengan alam. Huh, jenuhnya.
            Tapi ketika mereka tahu aku mendapatkan bidikmisi ini, sumringah itu mulai melukis di wajah mereka. Indah nian melihat rona bahagia itu.
            Sampai tak terasa aku di warnet sudah menjelang batas jam berikutnya. Tepat pukul 00.00 selesai sudah semua persyaratan. Untung aku memilih warnet yang pemiliknya muslim dan tidak ada hal aneh didalamnya. Menge-print berkas bidikmisi. Mendaftarkan diri di SNMPTN mengambil Universitas Gajah Mada mengambil prodi Psikologi dan komunikasi, serta Universitas Diponegoro mengambil prodi psikologi juga. Selesai print semua. Pulang ..
***
            Lama menunggu pengumuman SNMPTN, tepat 27 Mei 2014, sedari pagi sudah sibuk membuka laman di HP. Namun belum jua keluar. Kemudian beralih pergi ke warnet tempat mengurus berkas, namun tirai masih tertutup. Segera melesat ke warnet lainnya. Buka, masuk.
            Debar ini semakin mengencang saja. Dan dengan keraguan itu membuka laman secara perlahan. Terbuka, dan apa yang terjadi “Anda dinyatakan tidak lolos dalam SNMPTN 2014.” Melelehlah segala usaha. Dan tumbang segera untuk urung menangis di warnet. Langsung pulang, segera mencari dan memeluk umiku. Menangis dipelukkannya, “Mi, aku ga lolos SNMPTN.” Tapi beliau menguatkanku, “Ada SBMPTN kan, cari yang kiranya kamu bisa masuk ke sana. Udah di Universitas Jenderal Soedirman aja. Ambil sesuka kamu, jangan yang kamu tidak suka.”
            Aku menuruti maunya, segera bergerak lagi ke warnet dan mencari laman SBMPTN. Sesering mungkin mungutak-atik informasi pada laman Jenderal Soedirman. Dan terdiam lama di satu prodi yang benar-benar aku banget, sastra. Dalam benakku sudah terngiyang akan memasuki prodi itu.
            Borang aku isi lamat-lamat. Dan cermat-cermat. Tak perlu gegabah untuk tempo sedini ini. aku baca perlahan dan mengulang-ulang. Membenarkan semuanya dan masih memilih Unversitas Gajah Mada sebagai pilihan pertama mengambil prodi Sastra Nusantara. Dan tertancap pada pilihan kedua di Universitas Jenderal Soedirman prodi Sastra Indonesia.
            Meninggalkan segala kegundahan itu, aku tak sama sekali mengambil bimbingan untuk menakhlukkan si penentu itu. Masih bermain-main dengan akun facebook ku. Tidak sama sekali bimbingan malah bermain facebook. Bukan hal aneh yang aku ikuti, namun soal-soal SBMPTN yang berserakan di akun-akun tersebut. Mereka juga menjabarkan penjelasannya. Dan aku lebih suka dengan cara nonformal seperti itu. Daripada cara formal duduk di ruang tertutup. 
            Mengumpulkan soal-soal try out yang aku ikuti. Dari Simak-UI, seagamas UGM, try out STAN, sampai try Out GO yang terus menerus kuikuti. Semua soal kukumpulkan dan kupelajari semua yang ada. Kakak kelas juga ada yang membantu. Menjelaskan ini dan itu. kawan-kawan yang bimbingan menyumbangkan soalnya juga untuk aku pelajari. Dan ketika hari penentuan itu tiba. Aku sudah siap dengan ilmu dipemahaman.
            Lubuk dari hati sudah ikut mengerjakan. Dan detik 16 Juli 2014, kita sama-sama akan mengetahui hasil kita masing-masing. Aku yang sedari sore sudah nongkrong di depan warnet dekat pasar. Lama menunggu, ada banyak rasa disana. Bagaimana bila tidak diterima lagi? Bagaimana bila tidak bisa kuliah? Ini dan itu .. dan bagaimana bila hasil menyatakan aku lolos. Dan .. akh, semua terngiyang di penantian.
            Dan hingga magrib laman itu membuahkan hasilnya, satu senyum cemas menatap. Detak ini juga ikut ambil bagian. Benar-benar seperti apa rasa ini, dan ternyata, “Selamat anda diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Jenderal Soedirman dan sebagai penerima bidikmisi.” Sungguh tak terkira rasanya. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
            Mereka yang tahu langsung mengucap selamat, mereka yang sudah melihat hasilnya langsung menghubungi sesama. Dan bersuka cita atas segala yang terjadi. Namun juga ada airmata untuk sebuah penundaan ini. Mereka yang tidak berhasil melanjutkan kembali tes ujian di PTN masing-masing. Tapi, alhamdulillah, semua diterima baik di negri atau pun di swasta. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar