Mengejar Beasiswa
Bukan satu dua kali aku meminta
bidikmisi (BM) kepada pihak sekolah, SMANRA. Namun berkali-kali, dan respon
mereka seperti tidak mengindahkan. Aku mengerti mengapa? Karena rumahku yang
tak layak untuk dimasukan ke dalam salah satu penerima beasiswa. Ya, memang
lumayan lapang untuk dimasuki. Namun ketika sudah masuk, mereka pasti akan
menganga, karena tak ada perabotan mewah yang menghiasi kelapangan itu.
Dulu memang,
sempat merasakan fasilitas itu, namun sekarang. Sejak ayah di PHK. Kursi yang
empuk itu dijual dan diganti dengan kursi seadanya, bahkan bisa dibilang
sejadinya. Reyot sana sini dan sudah tidak ada kenyamanan untuk berlama-lama di
dalamnya. Luarnya saja indah, namun ..
Belum lagi, “Nak, Abah sudah di PHK,
pesangon Abah sudah habis untuk membayar hutang sana-sini. Abah tidak bisa
membiayai kamu untuk terus lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Sebaiknya kamu
mencari perusahaan saja, jangan mencari perguruan tinggi. Uangmu bisa untuk
menghidupi kamu sendiri.” Ucapnya membuat sesak di dada. Kenapa? Kenapa aku
yang berpotensi ini, tak dapat, tak bisa, bahkan harus bekerja. Mereka yang
mampu namun rumahnya saja yang reyot lolos dari permintaan beasiswa yang
berbelit. Tak perlu meminta, bahkan datang sendiri untuk mereka. Tapi, aku?
Tak patah arang sampai di sini. Aku
mencari-cari informasi sebanyak-banyaknya. Dan mengutarakan maksud hatiku pada
semuanya. Pada kawan seperjuangan, pada guru-guru pemberi harapan, bahkan
kepada kepala sekolah yang sukar ditemui. Dan akhirnya, penjelasanku cukup
menyakinkan mereka, mereka memanggil semua penerima BM itu ..
Aku diantaranya.
“Sekolah mengumpulkan kalian di sini,
untuk memberitahukan bahwa kalian yang sekolah daftarkan sebagai calon penerima
beasiswa bidikmisi. Ini ada pin dan password. Kemudian kalian penuhi
persyaratan yang ada di sana.” Jelas kepala sekolah.
Namun ada yang mampu menyela, “Maaf,
Pak! Saya bukannya menolak untuk menerima Bidikmisi itu. Namun kedua orangtua
saya mampu membiayai saya sampai saya lulus nanti.” Katanya menolak menerima
beasiswa itu.
Bukankah mereka tahu dia tidak
mampu? Mengapa dia tidak menerimanya?
Ternyata kesederhanaannya bukan
perkiraan apakah dia mampu ataupun tidak. Ternyata dengan rumah yang seadanya.
Dan perilaku yang indah apa adanya. Membuat dia dan keluarganya berhasil
mendirikan sebuah perusahaan yang income
nya terus menerus mengalir tiada henti. Cabangnya berkembang dimana-mana, namun
rumahnya masihlah tetap sesederhana itu. Karena ruko-rukonya nampak lebih indah
dari rumahnya. Dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengelola usahanya
itu. Namun aku?
Tidak sesekali aku melihat mereka,
ada yang nampak mampu dan ada pula memang benar-benar tak mampu. Tapi semua
tergolong lumayan untuk menjadi penerima beasiswa itu. Aku mendapatkan PIN dan
Password. Mengajak mereka untuk secepatnya menyelesaikan persyaratan. Jauh hari
sebelum jatuh penutupan.
“Bareng ya .. besok urusin semuanya
ya ..!” mantapku mengajak teman dekatku.
“Nanti lah, fokus UN dulu ..”
“Kok nanti-nanti .. nanti malah ga
keburu.”
“Kamu urus dulu aja. Aku nanti aja.
Pasti keburu kok.”
Aku hanya diam. Tak ada sepatah
nasehatpun mencecar sahabatku. Dan aku harus mengurus semua sendiri. Lebih awal
adalah waktu keberuntungan. Lebih cepat lebih baik. Sebelum semua melambai
begitu saja. Jangan lengah terhadap kegagalan.
***
Abah sudah memberi sinyal
bahagianya. Dia membantuku untuk tetap berjuang mempertahankan keinginanku. Ke
masa depan indah gemilang. Dia sesegera mungkin meminta dan menjelaskan
keadaannya pada RT, RW, Kelurahan setempat tentang ini dan itu. menceritakan
rodanya yang kini berada dibawah. Mereka mempercayainya dan mengeluarkan surat
keterangan tak mampu.
Aku yang tak mau berbohong juga,
jujur sejujurnya tanpa pernah memblurkan rumah yang lapang ini. Hunting dengan
kamera pinjaman, rumah ini terabadikan. Dan semua keluarga dijejerkan untuk
mendukung aku. Satu kebahagiaan dalam hati, ketika mereka ridho dengan semua
ini. Dan tak ada kecemburuan diantaranya.
Pajak Bumi Bangunan dikumpulkan,
rekening listrik disatukan, penghasilan dagang kami yang beralih profesi
sebegai bendahara SHS Nusantara kini menjadi pedagang chanai di kantin SHS
Nusantara juga dilampirkan dalam surat keterangan penghasilan oleh Lurah
setempat.
Aku stay di warnet tepat pukul empat
sore. Dan pendaftaran itu memakan waktu yang lumayan menyita. Men-scan data-data. Untung warnetnya mau
membantu. Semua data aku serahkan pada mereka untuk di scan. Dan aku sibuk mengutak-atik persyaratan. Mengisi apa yang
seharusnya diisi. Dan memasukkan apa yang sudah di scan. Meng-compres foto
agar cukup dengan daya.
Ada data diri, data ekonomi, data
kebendaan, data rumah, kendaraan, barang yang dimiliki, luas tanah, pajak
terutang, penghasilan orang tua, sampai utang piutang orangtua. Semua gamblang
kini aku mengetahuinya. Mereka lelah menutup utang yang perbulan harus segera
ditutup. Mereka tidak menyisihkan untukku. Namun aku akan menyisihkan untuk
mereka.
Pandangan mereka yang menginginkan
aku bekerja. Sempat aku turuti mereka menjadi cashier di sebuah pusat oleh-oleh
khas Nusantara. Dan itu hanya bertahan satu bulan saja. Karena hatiku belum
rela aku bekerja seperti itu, seharian full
menjaga toko, dan tidak ada ruang lepas untuk berkenalan dengan alam. Huh,
jenuhnya.
Tapi ketika mereka tahu aku
mendapatkan bidikmisi ini, sumringah itu mulai melukis di wajah mereka. Indah
nian melihat rona bahagia itu.
Sampai tak terasa aku di warnet
sudah menjelang batas jam berikutnya. Tepat pukul 00.00 selesai sudah semua
persyaratan. Untung aku memilih warnet yang pemiliknya muslim dan tidak ada hal
aneh didalamnya. Menge-print berkas
bidikmisi. Mendaftarkan diri di SNMPTN mengambil Universitas Gajah Mada
mengambil prodi Psikologi dan komunikasi, serta Universitas Diponegoro
mengambil prodi psikologi juga. Selesai print
semua. Pulang ..
***
Lama menunggu pengumuman SNMPTN,
tepat 27 Mei 2014, sedari pagi sudah sibuk membuka laman di HP. Namun belum jua
keluar. Kemudian beralih pergi ke warnet tempat mengurus berkas, namun tirai
masih tertutup. Segera melesat ke warnet lainnya. Buka, masuk.
Debar ini semakin mengencang saja.
Dan dengan keraguan itu membuka laman secara perlahan. Terbuka, dan apa yang
terjadi “Anda dinyatakan tidak lolos dalam SNMPTN 2014.” Melelehlah segala
usaha. Dan tumbang segera untuk urung menangis di warnet. Langsung pulang,
segera mencari dan memeluk umiku. Menangis dipelukkannya, “Mi, aku ga lolos
SNMPTN.” Tapi beliau menguatkanku, “Ada SBMPTN kan, cari yang kiranya kamu bisa
masuk ke sana. Udah di Universitas Jenderal Soedirman aja. Ambil sesuka kamu,
jangan yang kamu tidak suka.”
Aku menuruti maunya, segera bergerak
lagi ke warnet dan mencari laman SBMPTN. Sesering mungkin mungutak-atik
informasi pada laman Jenderal Soedirman. Dan terdiam lama di satu prodi yang
benar-benar aku banget, sastra. Dalam benakku sudah terngiyang akan memasuki
prodi itu.
Borang aku isi lamat-lamat. Dan
cermat-cermat. Tak perlu gegabah untuk tempo sedini ini. aku baca perlahan dan
mengulang-ulang. Membenarkan semuanya dan masih memilih Unversitas Gajah Mada
sebagai pilihan pertama mengambil prodi Sastra Nusantara. Dan tertancap pada
pilihan kedua di Universitas Jenderal Soedirman prodi Sastra Indonesia.
Meninggalkan segala kegundahan itu,
aku tak sama sekali mengambil bimbingan untuk menakhlukkan si penentu itu.
Masih bermain-main dengan akun facebook ku. Tidak sama sekali bimbingan
malah bermain facebook. Bukan hal aneh yang aku ikuti, namun soal-soal SBMPTN
yang berserakan di akun-akun tersebut. Mereka juga menjabarkan penjelasannya.
Dan aku lebih suka dengan cara nonformal seperti itu. Daripada cara formal
duduk di ruang tertutup.
Mengumpulkan soal-soal try out yang aku ikuti. Dari Simak-UI,
seagamas UGM, try out STAN, sampai try Out GO yang terus menerus kuikuti.
Semua soal kukumpulkan dan kupelajari semua yang ada. Kakak kelas juga ada yang
membantu. Menjelaskan ini dan itu. kawan-kawan yang bimbingan menyumbangkan
soalnya juga untuk aku pelajari. Dan ketika hari penentuan itu tiba. Aku sudah
siap dengan ilmu dipemahaman.
Lubuk dari hati sudah ikut
mengerjakan. Dan detik 16 Juli 2014, kita sama-sama akan mengetahui hasil kita
masing-masing. Aku yang sedari sore sudah nongkrong di depan warnet dekat
pasar. Lama menunggu, ada banyak rasa disana. Bagaimana bila tidak diterima
lagi? Bagaimana bila tidak bisa kuliah? Ini dan itu .. dan bagaimana bila hasil
menyatakan aku lolos. Dan .. akh, semua terngiyang di penantian.
Dan hingga magrib laman itu
membuahkan hasilnya, satu senyum cemas menatap. Detak ini juga ikut ambil
bagian. Benar-benar seperti apa rasa ini, dan ternyata, “Selamat anda diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas
Jenderal Soedirman dan sebagai penerima bidikmisi.” Sungguh tak terkira
rasanya. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Mereka yang tahu langsung mengucap
selamat, mereka yang sudah melihat hasilnya langsung menghubungi sesama. Dan
bersuka cita atas segala yang terjadi. Namun juga ada airmata untuk sebuah
penundaan ini. Mereka yang tidak berhasil melanjutkan kembali tes ujian di PTN
masing-masing. Tapi, alhamdulillah, semua diterima baik di negri atau pun di
swasta. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar