Tak berulah di UTS
Ujian tengah
semester .. ya ya, masa-masa pembuktian atas uapan dosen yang akan kita
tuangkan dalam lembar folio putih yang bergaris-garis. Semua akan tahu, setiap
tiga bulan setelah masa penguapan tersebut, akan ada pengambilan bukti uapan,
yaitu, UTS.
Hari
pertama slow, lancar, aman, badai. Kedua dan ketiga juga mengikuti. Bisa dapet
A tuh untuk makul yang dengan mudahnya terselesaikan itu. Tapi di hari keempat,
badai itu seakan mampir di hasil KHS – Kartu Hasil Studi semester satu.
Satu
massage pengingat masuk,
oEh, sya .. hari
ini ujian jam tujuh kan?
oIya, jam tujuh
Balasku tanpa
melihat pada jadwal yang tertempel di sterefoam kamar. Harusnya aku memang tak
usah melihat jadwal. Dan mengikuti message pengingat itu. Tapi langkahku
memastikan berujung pada keteledoranku. Terpampang dua jam yang berbeda di satu
makul, tak usah kusebutkan ya makulnya, jam tujuh titik tiga puluh dan delapan
titik empat lima.
Keduanya
membingungkan namun, melihat kerepotan Abah yang hanya sendiri mengantar chanai
– roti khas india ke kantin sekolah, membuatku memutuskan untuk memilih jam
yang kedua.
Abah mengantar
chanai, aku menunggu. Setelah usai, masih tepat pukul delapan lebih sepuluh,
dengan semangat mengerjakan UTS berangkat ke kampus tercinta. Sudah leganya
setelah membantu orangtua, serambi mengulang materi, serambi pula mengemas
chanai ke dalam kap-kap yang telah terjejer, kemudian meninggalkan itu semua
ketika roda dua itu datang, dan meminta abah lekas-lekas mengantarkan.
Sampai, apa yang
aku lihat, sudah banyak anak-anak sasindo yang meninggalkan ruangan, berhasil
menyelesaikan soal di depan mata. Dan aku baru sampai, oh my God. Apa ini
masalah buat aku, “Lho, baru berangkat, buruan. Siapa tahu boleh ngerjain.” cepatnya,
menggegaskan langkahku.
Masih tersisa dua
anak lagi. Aku segera menjelaskan semuanya pada pengawas namun, “Silakan
menghadap ke ketua panitia UTS, dan minta surat ijin mengikuti ujian mata
kuliah ini.” tegas lelaki matang yang sedang meminta kertas ujian karena waktu
ujian memang sudah habis.
Oh, tuhan. Kenapa
bisa seperti ini?
Sebelumnya seperti
ada peringatan lewat mimpi, untuk menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya.
Malam itu aku bermimpi, aku serasa berada di ruang ujian, dan nasehat yang
terngiyang adalah, “Jangan buru-buru, siapkan dulu alasanmu. Alasan masuk akal
yang tidak menyalahi aturan ujian tapi bisa diterima untuk bisa ujian.” Mimpi
itu sudah mengisyaratkan kejadian ini. Tapi aku lupa, dan tak mengindahkan
mimpi itu.
Dengan berbagai
kejujuranku, aku ditemani mba Anis menghadap ke ketua panitia ujian. Susah
sekali menemui beliau, sampai memeras-meras hati ketika ia benar-benar nampak
namun, satu yang menasehati, “Jangan temui dosen jika dosen itu belum duduk di
tempatnya.” Dan ketika sudah nampak dosen itu di depan mata namun, dia justru
mengobrol di kursi yang lain bersama dosen lainnya.
Lama menunggu,
lama pula memperkirakan kapan si dosen duduk ditempatnya. Dan ketika dia
benar-benar akan duduk ditempatnya. Dia hanya mengambil barang seperlunya dan
pergi meninggalkan ruangan, oh Tuhan, beginikah terlambat ujian.
Tak hanya aku yang
mengalami perlakuan dosen seperti ini. Belia syar’i yang dulu bertemu di
registrasi SBMPTN, juga sama-sama mengalami nasib yang sama. Alasan dia,
murus-murus karena diare. Kami pun sama-sama mengurus hal ini.
Dosen yang
dimaksud itu pun sudah ada di tempatnya. Ada satu dua yang mengurusi urusannya.
Kemudian, aku memberanikan diri menuju bapak tersebut. Dengan segala
kejujuranku menceritakan semua. Namun, bersikukuh dosen tersebut akan peraturan
membuatku urung tuk menghilang dari sang dosen, “Kamu ngeyel ya ..” ucapnya
sambil menatap tajam mataku. Aku lupa, kuliah itu diajarkan untuk beralibi,
semua yang jujur dan tak mempunyai alibi pasti aka patah dengan sendirinya. Oh,
begitu kah mental bohong yang ditanamkan. Satu bulir menetes tak kuat atas
ketidakjujuran.
Masih dalam
keadaan menunggu, aku mencoba meminta bantuan pada bapendik, “Bu .. tolonglah,
akan sangat disayangkan sekali, bila proses yang sudah dijalani selama ini,
dipatahkan dengan sangat mudahnya dengan ini semua. Proses tersebut seperti
tidak dihargai sama sekali. Tolong lah, bu ..” pintaku. Namun, “Oh, tidak bisa.
Itu seleksi alam.” Seleksi alam yang bagaimana yang membohongi sebuah proses. Ini
kah, yang diajarkan.
Menunggu juga
dipatahkan dengan adegan di bawah tangga, seorang anak, mungkin anak
pendidikan, dia beserta pengawas yang mengawasi dirinya dalam ujian, menghadap
dengan mudahnya pada ketua panita, kemudian si pengawas menjelaskan, “Anak ini,
ban-nya bocor, sehingga telat masuk ruang ujian.” Segera saja dia membalas,
“Iya, silakan saja .. ayo siapkan soal yang lain dan bantu dia ujian.” Sakit ..
drama itu terasa perih di depan mata. Dengan mudahnya. Aku masih berpikir
positif, anak itu juga jujur yang mujur.
Melihat itu,
segera aku mendekat, dengan perasaan dan mata yang menanar, “Pak, apakah saya
juga bisa mengikuti ujian?” bulirku berusaha tak jatuh juga. Namun, “Kamu
ngeyel ya ..” jawabnya. Aku ngeyel dimana nya pak? Aku sudah menjelaskan
semuanya dengan kejujuran. Dan apa salah jika kejujuran itu bisa dibalas dengan
reaksi yang lebih baik lagi.
Tak tahan dengan
ini semua, aku melihat anak pendidikan iitu, dibantu dengan sangat mudahnya.
Disertai dengan ditinggalnya aku sendiri. Aku mencoba menemui teman-temanku,
namun, dengan air mata yang tertahan. Dan emosi yang ingin diluapkan. Mereka
lebih memilih tak mengenalku daripada mendekat membantu. Ini solidaritas, ini
buah ospek? Huh, aku tak kuat lagi, kenapa pula, harus terlihat rapuh di depan
mereka. Ku ambil motor dan pulang dengan kaca helm menutup muka. Selama
perjalanan bulirku menetes dengan derasnya.
***
Tak
cukup sampai di situ, aku menemui dosen mata kuliah tersebut. Menjelaskan
dengan gamblang apa yang terjadi. Sama kiranya jawaban dari dosen yang
mengajarkan akan jati diri seorang mahasiswa. Harusnya dia ajarkan kami untuk
tetap berjuang, dan step by step mereka mematahkan kejujuranku. Aku berpikir.
Seandainya aku jadi mahasiswa licik yang mengada-ada saat menjelaskan sesuatu,
tapi sedari kecil sampai aku sebesar ini, aku pantang untuk mengada. Dan satu
titik ini menguatkanku, “Tak masalah .. UTS kamu ga ikut, masih ada UAS, dan
kamu masih bisa membentuk jati diri kamu menjadi lebih kuat.” nasehatnya.
menghapuskan bulir yang tak ingin ku ingat, dalam kondisi itu, emosiku
membuncah, satu dendam positif tercipta, “Akan kubuktikan aku bisa menjadi
orang. Menjadi Ilsya yang sangat dihormati.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar