Minggu, 10 April 2016

Tak berulah di UTS



Tak berulah di UTS
           
Ujian tengah semester .. ya ya, masa-masa pembuktian atas uapan dosen yang akan kita tuangkan dalam lembar folio putih yang bergaris-garis. Semua akan tahu, setiap tiga bulan setelah masa penguapan tersebut, akan ada pengambilan bukti uapan, yaitu, UTS.
            Hari pertama slow, lancar, aman, badai. Kedua dan ketiga juga mengikuti. Bisa dapet A tuh untuk makul yang dengan mudahnya terselesaikan itu. Tapi di hari keempat, badai itu seakan mampir di hasil KHS – Kartu Hasil Studi semester satu.
            Satu massage pengingat masuk,
oEh, sya .. hari ini ujian jam tujuh kan?
oIya, jam tujuh
Balasku tanpa melihat pada jadwal yang tertempel di sterefoam kamar. Harusnya aku memang tak usah melihat jadwal. Dan mengikuti message pengingat itu. Tapi langkahku memastikan berujung pada keteledoranku. Terpampang dua jam yang berbeda di satu makul, tak usah kusebutkan ya makulnya, jam tujuh titik tiga puluh dan delapan titik empat lima.
Keduanya membingungkan namun, melihat kerepotan Abah yang hanya sendiri mengantar chanai – roti khas india ke kantin sekolah, membuatku memutuskan untuk memilih jam yang kedua.
Abah mengantar chanai, aku menunggu. Setelah usai, masih tepat pukul delapan lebih sepuluh, dengan semangat mengerjakan UTS berangkat ke kampus tercinta. Sudah leganya setelah membantu orangtua, serambi mengulang materi, serambi pula mengemas chanai ke dalam kap-kap yang telah terjejer, kemudian meninggalkan itu semua ketika roda dua itu datang, dan meminta abah lekas-lekas mengantarkan.
Sampai, apa yang aku lihat, sudah banyak anak-anak sasindo yang meninggalkan ruangan, berhasil menyelesaikan soal di depan mata. Dan aku baru sampai, oh my God. Apa ini masalah buat aku, “Lho, baru berangkat, buruan. Siapa tahu boleh ngerjain.” cepatnya, menggegaskan langkahku.
Masih tersisa dua anak lagi. Aku segera menjelaskan semuanya pada pengawas namun, “Silakan menghadap ke ketua panitia UTS, dan minta surat ijin mengikuti ujian mata kuliah ini.” tegas lelaki matang yang sedang meminta kertas ujian karena waktu ujian memang sudah habis.
Oh, tuhan. Kenapa bisa seperti ini?
Sebelumnya seperti ada peringatan lewat mimpi, untuk menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Malam itu aku bermimpi, aku serasa berada di ruang ujian, dan nasehat yang terngiyang adalah, “Jangan buru-buru, siapkan dulu alasanmu. Alasan masuk akal yang tidak menyalahi aturan ujian tapi bisa diterima untuk bisa ujian.” Mimpi itu sudah mengisyaratkan kejadian ini. Tapi aku lupa, dan tak mengindahkan mimpi itu.
Dengan berbagai kejujuranku, aku ditemani mba Anis menghadap ke ketua panitia ujian. Susah sekali menemui beliau, sampai memeras-meras hati ketika ia benar-benar nampak namun, satu yang menasehati, “Jangan temui dosen jika dosen itu belum duduk di tempatnya.” Dan ketika sudah nampak dosen itu di depan mata namun, dia justru mengobrol di kursi yang lain bersama dosen lainnya.

Lama menunggu, lama pula memperkirakan kapan si dosen duduk ditempatnya. Dan ketika dia benar-benar akan duduk ditempatnya. Dia hanya mengambil barang seperlunya dan pergi meninggalkan ruangan, oh Tuhan, beginikah terlambat ujian.
Tak hanya aku yang mengalami perlakuan dosen seperti ini. Belia syar’i yang dulu bertemu di registrasi SBMPTN, juga sama-sama mengalami nasib yang sama. Alasan dia, murus-murus karena diare. Kami pun sama-sama mengurus hal ini.
Dosen yang dimaksud itu pun sudah ada di tempatnya. Ada satu dua yang mengurusi urusannya. Kemudian, aku memberanikan diri menuju bapak tersebut. Dengan segala kejujuranku menceritakan semua. Namun, bersikukuh dosen tersebut akan peraturan membuatku urung tuk menghilang dari sang dosen, “Kamu ngeyel ya ..” ucapnya sambil menatap tajam mataku. Aku lupa, kuliah itu diajarkan untuk beralibi, semua yang jujur dan tak mempunyai alibi pasti aka patah dengan sendirinya. Oh, begitu kah mental bohong yang ditanamkan. Satu bulir menetes tak kuat atas ketidakjujuran.
Masih dalam keadaan menunggu, aku mencoba meminta bantuan pada bapendik, “Bu .. tolonglah, akan sangat disayangkan sekali, bila proses yang sudah dijalani selama ini, dipatahkan dengan sangat mudahnya dengan ini semua. Proses tersebut seperti tidak dihargai sama sekali. Tolong lah, bu ..” pintaku. Namun, “Oh, tidak bisa. Itu seleksi alam.” Seleksi alam yang bagaimana yang membohongi sebuah proses. Ini kah, yang diajarkan.
Menunggu juga dipatahkan dengan adegan di bawah tangga, seorang anak, mungkin anak pendidikan, dia beserta pengawas yang mengawasi dirinya dalam ujian, menghadap dengan mudahnya pada ketua panita, kemudian si pengawas menjelaskan, “Anak ini, ban-nya bocor, sehingga telat masuk ruang ujian.” Segera saja dia membalas, “Iya, silakan saja .. ayo siapkan soal yang lain dan bantu dia ujian.” Sakit .. drama itu terasa perih di depan mata. Dengan mudahnya. Aku masih berpikir positif, anak itu juga jujur yang mujur.

Melihat itu, segera aku mendekat, dengan perasaan dan mata yang menanar, “Pak, apakah saya juga bisa mengikuti ujian?” bulirku berusaha tak jatuh juga. Namun, “Kamu ngeyel ya ..” jawabnya. Aku ngeyel dimana nya pak? Aku sudah menjelaskan semuanya dengan kejujuran. Dan apa salah jika kejujuran itu bisa dibalas dengan reaksi yang lebih baik lagi.
Tak tahan dengan ini semua, aku melihat anak pendidikan iitu, dibantu dengan sangat mudahnya. Disertai dengan ditinggalnya aku sendiri. Aku mencoba menemui teman-temanku, namun, dengan air mata yang tertahan. Dan emosi yang ingin diluapkan. Mereka lebih memilih tak mengenalku daripada mendekat membantu. Ini solidaritas, ini buah ospek? Huh, aku tak kuat lagi, kenapa pula, harus terlihat rapuh di depan mereka. Ku ambil motor dan pulang dengan kaca helm menutup muka. Selama perjalanan bulirku menetes dengan derasnya.
***
            Tak cukup sampai di situ, aku menemui dosen mata kuliah tersebut. Menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi. Sama kiranya jawaban dari dosen yang mengajarkan akan jati diri seorang mahasiswa. Harusnya dia ajarkan kami untuk tetap berjuang, dan step by step mereka mematahkan kejujuranku. Aku berpikir. Seandainya aku jadi mahasiswa licik yang mengada-ada saat menjelaskan sesuatu, tapi sedari kecil sampai aku sebesar ini, aku pantang untuk mengada. Dan satu titik ini menguatkanku, “Tak masalah .. UTS kamu ga ikut, masih ada UAS, dan kamu masih bisa membentuk jati diri kamu menjadi lebih kuat.” nasehatnya. menghapuskan bulir yang tak ingin ku ingat, dalam kondisi itu, emosiku membuncah, satu dendam positif tercipta, “Akan kubuktikan aku bisa menjadi orang. Menjadi Ilsya yang sangat dihormati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar