Minggu, 10 April 2016

Hasan Ali, who is he?



Hasan Ali, who is he?

            Hasan Ali, aktivis yang getol menyuarakan suara rakyat. Lelaki semampai, berkacamata, dengan segala pengetahuannya tentang strategi politik dan kegelisahan masyarakat. Dia terus menerus menggaungkan kejadian yang tidak selaras dengan semesta. Beraksi namun memberi solusi meminta arus freeport yang dikuasai asing untuk diambil alih, dan tidak diteruskan pihak asing. Bahkan dia membuat sebuah surat petisi untuk menteri sumber daya atas freeport itu.
            “Kau sudah liat komentar Hasan di TV One?” tanya Nada yang kebetulan satu jurusan denganku di universitas yang sama. Kami sama-sama mengambil fakultas budaya dan singgah di sastra. Ya, Nada yang cerdas itu, mengambil sastra ketika SNMPTN dan dia dinyatakan lolos begitu mudahnya. Karena dia tahu dan dapat mengukur dirinya.
            Sedangkan aku tak tahu malu, sudah jurusan sosial, masih bermimpi bersaing dengan jurusan terbuka, Psikologi, yang membuka kesempatan untuk jurusan sosial juga eksak.
            “Apa? Aku bahkan tak kenal siapa itu Hasan, anak univ sini juga?” konek ku, setelah lepas dari candu gadget yang banget bikin ketagihan. Padahal tak ada pesan, chat, wa, line, atau apapun. Sepi, makannya sedari tadi ketika Nada menanyaiku, sedikit tak konek untuknya.
            “Ih, jaman sekarang ya .. padahal deket, fokusnya ke gadget, yang jauh jadi deket, yang deket dianggurin, keren banget lah jamurnya.” sindirnya. Seperti biasa juga, aku merasa bersalah akan hal itu, “Maaf-maaf .. oke deh. Kalau aku ngomong sama siapa pun aku bakal simpen gadget aku. Oke, tadi siapa itu, Hasan? Siapa dia?”
            Tapi Nada sudah keburu mogok, dan tak mau meneruskan ceritanya. Sepertinya, Nada yang begitu menggebu ini, akan ada sesuatu yang membuat hati Nada berdebar. Benarkah, Hasan sosoknya? Atau hanya puas dengan kekaguman sesaat.
***
            Aku masih gelisah, Luvi masih belum bisa memaafkan kami bertiga. Memang se-sakit hati apa si, sampai tak sampai hati memaafkan. Memang ada apa lagi setelah peristiwa balance–nya jurnal itu ..
            Kami, masih menemukan Luvi tersenyum kepada kami. Saat itu, dara manis itu sangat memesona hati kami. Dia masih baik pada kami. Belum pernah kami merasakan hawa harmonis sepeti ini. Socilious juga tak macam-macam akan sosoknya yang lumayan dipertanyakan ini.
            Sikap yang biasanya slengekan, dan membandel pada semua peraturan. Kadang tak ada suatu alasan ketika dia terlambat, dan dia ngloyor saja, masuk sekolah tanpa menghadap pada OSIS kedisiplinan. Bagi Luvi, mereka juga murid, dan disiplin itu, hak kedatangan yang tak pernah bisa dia penuhi.
            “Ih, Luvi ngloyor aja, kaya kita ga ada aja ya.” pernyataan salah satu anggota OSIS divisi kedisiplinan ini, sambil tersenyum kecut kepada dara cantik itu.
            Sumringahnya masih terjaga, dan dia masih memberi kesan tak akan melakukan apapun. Sampai pada jam istirahat sholat, kami tak menaruh curiga pada dirinya. Seperti biasa, kami makan, kemudian wudhu dan melangkah ke aula untuk sholat bersama. Kebiasaan indah di SMANRA ini.
            Semua benar-benar harmonis kala itu, terlihat begitu menyenangkan. Tetapi setelah kembali dari Aula dan mendapati semua sepatu anak-anak socialious tak ada, kami kalang kabut. Kami semua berusaha berpikir positif. Namun hanya Luvi lah yang tertawa-tawa girang sambil menunjuk-nunjuk arah atas, semua mata meruncing menyudut pada Luvi dan, “Luuviiiiiiiiiiiiiiiii ....” yang berinisiatif pun mengambil, namun tak semampai, sehingga menambah meja dan kursi untuk mengambilnya.
            Dua puluh tujuh sepatu pantopel itu terselip di antara teralis besi, jalan sirkulasi udara. Waw banget, kenangan yang digoreskan Luvi dalam ingatan kami. “Luv, sama temen sendiri kok. Masa gitu?” namun dia hanya menjulurkan lidah dan berkata, “Biarin!” kemudian pergi.
            Ih, namanya Luvi harusnya penuh cinta, kenapa ini penuh ... hahahah, Luviiiiiiiii ... menyebalkan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar